ISMAIL YUSANTO (Jubir HTI) SEORANG AGEN INTELIJEN (???)

Ada sebuah posting dari rhisy.blogsome.com tentang Ismail Yusanto sebagai agen intel, yang tulisannya panjang 3 seri. Seri 1-2 brbicara tentang kritik penulis terhadap amir HT, Abu Rashtah-Abu Yasin, yang menyebut Erdogan dan Gul di Turki sebagai agen AS. Pada seri 3 kemudian baru membahas tentang Ismail Yusanto dan HTI kaitannya dengan intel. Ismail Yusanto adalah jubir HTI. Warga NU jangan terprovkasi oleh HTI dan Islam-Islam lain yang menawarkan janji-janji kamuflase baru. Fokus saja ndandaani NU, baik yang di struktural, kultural, NGO, dan profesional lain. Selamat membaca:

***


Pada bagian ke-2, telas diulas alasan pertama kenapa judul di atas adalah ‘Ismail Yusanto Seorang Agen Intelijen (???). Pada bagian terakhir ini, dijelaskan 2 hal lain yang menjadi latar belakang kenapa kata ‘agen intelijen’ itu muncul. Disamping itu, bagian ini juga akan menjadi pengantar tulisan berupa beberapa fakta sejarah yang patut menjadi bahan renungan semua pihak bagaimana sepak terjang operasi intelijen yang merugikan umat Islam Indonesia (akan ditulis pada artikel terpisah). Berikut adalah lanjutan ulasan terhadap ‘3 hal’ yang telah diawali di bagian sebelumnya.

Kedua, Kepergoknya Kader HTI di Sarang Intelijen

Medio 2007 lalu, salah seorang tokoh sekaligus petinggi sebuah Partai Islam di Indonesia yang diundang BIN untuk dimintai keterangan terkait ‘next plan’ seandainya Partai Islam tersebut berhasil memimpin negara Indonesia, memergoki salah seorang yang ia kenal betul sebagai aktivis dan kader HTI. Dengan kalimat lugas, petinggi Partai Islam itu menyapa “Antum di sini?” Dengan rada gugup orang tersebut merespon dengan basa-basi. Secara jujur penulis tidak cukup banyak data dan informasi akan detil dari berita ini, namun sumber yang terpercaya keamanahannya cukup menjadi jaminan bahwa kejadian itu benar adanya.

Mari kita coba mengkalkulasi kenapa seorang kader HTI itu bisa berada di sarang intelijen. Ada kepentingan apa dirinya berkeliaran di sana. Alangkah baiknya penulis mencoba mereka-reka dan membuka wacana, dan kemudian biarlah pihak HTI yang menyampaikan tabayun dan penjelasan atas ‘analisa krece’ tulisan ini. Penulis sangat berlapang dada jika ada pelurusan-pelurusan oleh pihak HTI dari ‘analisa bodoh’ yang penulis kemukakan.

Dunia intelijen merupakan dunia yang sangat confidential dan sangat sulit tersentuh kalangan sipil. Begitulah tabiat dunia intelijen baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Oleh karena itu, orang-orang yang bekerja di sana baik sebagai staff instansi ataupun keadministrasian harus melalui proses yang sangat selektif sekali. Kebanyakan masyarakat awam tidak begitu paham apa dan bagaimana menjadi pegawai di kantor BIN ini. Kondisi ini adalah kenyataan untuk meragukan bahwa kader HTI tersebut disana bekerja hanya sebagai pegawai biasa, bukan seorang agen. Akan tetapi semoga ia benar-benar hanya sebagai pegawai biasa di markas BIN tersebut.

Soalnya jika ia di sana bukan sebagai pegawai biasa, lantas apa yang ia lakukan sehingga ‘berkeliaran’ di sarang macan? Seorang petinggi Partai Islam saja datang ke situ untuk dimintai keterangan (bahasa lainnya di interogasi), terus apa yang dilakukannya kalau bukan ‘ngantor’ di situ? Kalo pun hanya sekedar singgah, kenapa harus di markas intelijen? Jika memata-matai intelijen jelas suatu hal yang tidak mungkin. Masa’ intel dimata-matai sipil, tidak kebalik tuh? Tapi jika dalam rangka ‘bersahabat’ maka hal itu adalah hal yang sangat mungkin.

Persoalan berikutnya, apabila ternyata kondisi yang sebenarnya adalah bahwa kader HTI tersebut adalah seorang agen intelijen, maka masih menyisakan sebuah pertanyaan. Pertanyaannya adalah, apakah keberadaan kader HTI yang berkeliaran di sarang intelijen itu diketahui oleh petinggi HTI dalam hal ini Jubir dan strukturnya? Jika tidak, maka informasi ini cukup positif untuk dijadikan warning agar jajarannya lebih berhati-hati dan mawas diri. Kondisi ini merupakan sebuah ancaman yang dapat memecah belah jalan di masa yang akan datang. Bahkan jika keberadaan penyusup ini tak terdeteksi maka lambat laun gerakan HTI akan terperangkap sesuai dengan design dan aksi sang agen intelijen.

Namun jika jawabannya “Ya”, maka bisa diterka bahwa ada interaksi simbiosis mutualisme antara kedua belah pihak, HTI dengan BIN. Terlalu jauh menyimpulkan bahwa HTI adalah bentukan intelijen, namun bukan hal yang mustahil jika telah terjadi deal-deal tertentu yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Apa keuntungan bagi HTI? Yaitu ‘jaminan keamanan’ dalam menyampaikan syi’ar da’wahnya ’sekeras’ apa pun merivali ideologi yang dianut negara ini. Sementara keuntungan bagi intelijen, adalah jaminan terpantaunya bahwa gerakan HT di Indonesia tak akan merongrong ideologi yang menjadi pijakan negara Indonesia.

Ditambah bahwa keberadaanya akan menjadi senjata untuk mengkonter kekuatan ideolagis lain yang pamornya semakin sulit dibendung dalam kancah perpolitikan nasional. Di beberapa tempat dan kesempatan, kekuatan ideologis ini banyak dikaji kelompok-kelompok nasionalis yang merasa masa depannya terancam dengan keberadaannya. Bahkan kalangan partai-partai besar orde baru yang mengaku nasionalis sudah menjadikannya common enemy demi mengganjal dan menghancurkan arus besar ideologis tersebut.

Hal ini bukan isapan jempol, mengingat berbagai fakta di lapangan gaya da’wah HTI terus saja ‘menyerang’ para aktivis da’wah yang berjuang di mimbar parlemen. Bahkan hampir di berbagai kesempatan shalat Jum’at para khatib yang berasal dari HTI acap kali ‘menyerang’ dan melontarkan wacana bahwa upaya aktivis da’wah yang berjibaku di panggung parlemen ‘terbukti’ sia-sia dan jauh dari rel Islam. Penulis menjadi saksi sendiri hal ini terjadi di berbagai kesempatan sholat Jum’at di beberapa masjid di Jakarta dan Banten.

Fakta lain adalah, dalam pengkaderannya di berbagai perguruan tinggi di Indonesia tak bisa dipungkiri HTI membidik mereka yang menjadi simpatisan dan berafiliasi kepada Partai Islam berideologi kuat ini. Bahkan tak jarang dengan cara kotor mereka menjegal para kader dan simpatisan yang baru datang dari daerah dengan berpura-pura menjadi bagian dari Partai Islam tersebut. Memuji-muji tokohnya, mengajak mengkaji buku dan materi yang menjadi referensi. Kemudian pada masa yang sudah tertentu mereka (para aktivis HTI) menyatakan dirinya sebagai aktivis Hizbut Tahrir dan berbalik memojokkan Partai Islam itu sendiri serta mengaku-ngaku bahwa tokoh-tokoh yang pemikirannya banyak di adopsi oleh Partai Islam tersebut adalah tokoh Hizbut Tahrir. Lucu memang, tapi itulah kelicikan yang menjadi fakta. Kejadian ini di alami beberapa rekan dari penulis saat mereka kuliah di perguruan tinggi di Surabaya dan Bandung.

Dengan kata lain, langsung ataupun tidak langsung, penggerogotan ini cukup menguntungkan banyak kalangan terutama mereka kalangan yang ngaku-ngaku orang nasionalis yang haus akan kekuasaan nasional. Kalangan ini takut tergusur oleh gelombang ideologis yang cukup mengurat syaraf di masyarakat Indonesia secara umum. dan phobia serta tidak memahami Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan begitu sejalan dengan kerja BIN yang memang didominasi kalangan yang tak memiliki afiliasi dengan Islam. Bahkan sebaliknya.

Ketiga, Pelatihan Intelijen Aktivis HTI

Situs HTI http://www.khilafah1924H tertanggal 30 November 2005 menyebutkan bahwa Hizbut Tahrir menyelenggarakan Pelatihan Dasar-Dasar Intelijen bagi para aktivisnya di ’sebuah tempat di Indonesia’. Dalam kesempatan itu menghadirkan mantan Kapala BAKIN Letjend. ZA. Maulani (alm) sebagai narasumbernya. Dalam sisi positif, HTI bisa dibilang selangkah lebih maju dalam menyikapi eksistensi dunia intelijen. Jika kelompok atau gerakan Islam lain masih menjadi bidikan dan sasaran bulan-bulanan rekayasa operasi intelijen, HTI justru malah mengadakan pelatihan dasar-dasar intelijen bagi para aktivisnya. Patut di apresiasi.

Apalagi pelatihan tersebut dinarasumberi oleh mantan orang nomor1 di BAKIN pada masa pemerintahan BJ. Habibie. Alm Letjend ZA. Maulani memang dikenal dekat dengan kalangan Islam. Bahkan orang kepercayaan mantan presiden jenius ini adalah salah seorang yang cukup serius melawan isu Jamaah Islamiyah yang dihembuskan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Dan pembelaanya terhadap Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, yang disudutkan dan dipenjarakan atas pesanan negeri Paman Sam itu tak perlu diragukan lagi. Bahkan keberpihakannya terhadap umat Islam ditunjukkan dengan penterjemahan buku Stranger Then Fiction: Independent Investigation of 9-11 and War on Terrorism karya Dr. Albert D. Pastore, PhD. yang kemudian diberi judul “Fitnah Itu Akhirnya Terungkap”.

Akan tetapi dunia intelijen tetaplah dunia intelijen. Dunia yang yang sulit dijangkau dan dipahami masyarakat sipil. Sebuah dunia yang dalam catatan sejarah sangat tidak bersahabat dengan umat Islam. Tidak dalam rangka menyangsikan keseriusan ZA. Maulani dalam membela Islam, namun biar bagaimanapun selama masa tugasnya sebagai Kepala BAKIN tercatat beliau juga bekerja untuk kepentingan penguasa pada waktu itu.

Bulan Juli-Agustus tahun 1999 sebagai Kepala BAKIN beliau memimpin operasi di Jawa Timur untuk kepentingan menggolkan kembali BJ. Habibie sebagai presiden RI. Seperti yang diungkap SiaR, beberapa pesantren besar seperti Ponpes Langitan (Tuban), Ponpes Sechona Cholil (Bangkalan), dan Ponpes Lirboyo didatangi ZA. Maulani. KH. Hasyim Muzadi yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur membenarkan operasi itu. Beliau mengatakan bahwa pada bulan-bulan Juni-Juli tahun itu ZA. Maulani rajin mendatangi pesantren-pesantren NU untuk menggembosi suara PKB dan Gus Dur yang akan berpasangan dengan Megawati. “Bahkan setiap pamitan Maulani selalu memberi uang pada para kiai dengan alasan untuk transport,” ujar Hasyim Muzadi.

Sementara itu Ketua Badan Silaturrahmi Pondok Pesantren Madura KH. Nurudin A. Rachman juga membenarkan operasi ZA. Maulani di Jawa Timur, “Benar memang, sekitar Juni lalu pak Maulani rajin datang ke pesantren-pesantren. Dan setiap kali kunjungannya selalu didampingi pengurus Golkar Jatim.” ujarnya. Operasi tersebut tergolong sukses. Bahkan menurut Ketua DPW Jatim pada waktu itu, Choirul Anam (sekarang ketua PKNU), operasi yang dilakukan Maulani sudah dilakukan jauh-jauh hari. “Buktinya suara PKB kacau dikantong-kantong NU, tegas Anam. Sampai karena kegeramannya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua PBNU mengusulkan agar mengganti orang-orang BAKIN pada pemerintahan berikutnya. Dan terbukti, ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, ZA. Maulani disingkirkan.

Sekali lagi, uraian di atas bukan dalam rangka meragukan kedekatan dan keberpihakan ZA. Maulani kepada umat Islam. Penulis juga tidak dalam rangka mempermasalahkan isi pelatihan di atas dan berpositif thingking saja karena saat itu kampanye global perang terhadap terorisme yang digalang AS mencengkeram negara-negara berkembang layaknya Indonesia.

Satu hal mengganjal yang patut menjadi pertanyaan adalah, apa kaitannya pelatihan di tahun 2005 itu dengan kejadian di sarang intelijen pertengahan tahun 2007 kemarin? Apakah setelah wafatnya ZA. Maulani dengan segala kelebihan dan kekurangannya (dan mungkin beliau tidak ada sangkut pautnya dalam masalah ini), para alumni pelatihan mengalami perkembangan kreativitas secara ‘mandiri’ sehingga dengan cepat bisa menerobos pintu istana intelijen?

Penulis sangat senang sekali jika ada pihak-pihak yang menyampaikan penjelasan dan klarifikasi terkait kegundahan ini. Kenapa? Karena hingga saat ini Badan Intelijen Negara tidak pernah berhenti menggelar operasi-operasinya, baik operasi strategis maupun operasi taktis. Kasus meninggalnya aktivis HAM Munir, dan penyusupan intelijen di Majelis Mujahidin Indonesia beberapa masa lalu adalah bukti bahwa intelijen tidak pernah pensiun, dan terus bekerja dari satu operasi ke operasi intelijen berikutnya. Dan sejarah perjalanan umat Islam Indonesia sejak pasca kemerdekaan memiliki catatan sangat merah terhadap intelijen.

Ketiga hal inilah yang melandasi kenapa penulis menyandangkan kata agen intelijen pada judul di atas. Alasan ke-2 dan ke-3 hanyalah sebuah logika penambah yang perlu disingkap untuk lebih membuka mata, bagaimana seharusnya sang Amir Hizbut Tahrir melontarkan analisanya. Jangan asal menuduh aktivis di luar gerakannya dengan sebutan-sebutan yang buruk. Dengan kedua paparan di atas saja, penulis tidak terlalu tertarik untuk secara gegabah mengatakan bahwa Ismail Yusanto adalah seorang agen intelijen. Dalam konteks ini penulis lebih senang untuk berbaik sangka bahwa Ismail Yusanto adalah seorang yang baik. Dengan jalan ini penulis bermaksud menyadarkan kepada Syeikh Ata’ Abu Rashta agar tidak dzalim mengecap orang lain dengan tuduhan yang buruk.

(selesai)

http://rhisy.blogsome.com/2008/02/01/agen-intelijen-bagian-3/

Leave a comment